Kamis, 29 Agustus 2013

Budaya Mengalah - Selalu Baikkah?

Budaya Mengalah - Selalu Baikkah?

October 8, 2010 at 8:26am
Written By:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School
Pembicara Parenting Internasional di 4 negara
dan Pembicara Nasional Parenting di 20 Propinsi, lebih dari 70 Kota di Indonesia
www.auladi.net

Sebagai bahan renungan kita ya. Mudah-mudahan kita semakin menjadi orangtua yang bermanfaat untuk anak bukan yang mematikkan potensi anak.

Salam
Forum Orangtua Shalih

Pendidikan Profesionalisme Sejak TK
Asvi Warman Adam – Ayah Seorang Murid SD

Artikel Jalaluddin Rachmat di Republika 11-12 Juni 1996 lalu membahas secara normatif apa yang harus diperbaiki dan dipersiapkan dalam bidang pendidikan nasional menghadapi era globalisasi dan perdagangan bebas tahun 2003. Kolom ini melengkapi tulisan Kang Jalal itu dengan kongres, yakni pengalaman anak saya mengikuti taman kanak-kanak di Paris, Prancis. Mudah-mudahan perbandingan ini bisa bermanfaat.

Ketika pulang ke Indonesia, putri saya yang berumur 4 tahun masuk sebuah TK favorit di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Hari pertama, murid-murid menaruh tasnya pada rak yang tersusun berupa 36 kotak di kelas. Kebetulan anak saya menaruh tasnya pada tempat yang sama, kotak itu sudah terisi.

Anak saya melapor ke Ibu Guru. Jawaban guru: “Semua di kelas ini punya Ibu Guru. Anak-anak boleh memakai, tetapi kalian jangan bertengkar, kamu harus hidup rukun. Kamu harus belajar mengalah.” Saya yang mengantar anak ke sekolah pada hari-hari pertama dia masuk TK di Indonesia merasa “kesalahan fatal” dalam dunia pendidikan telah dimulai sejak anak-anak berusia dini.

Anak saya ketika mendengar penjelasan ibu guru itu barangkali mengalami semacam “cultural shock” kecil-kecilan. Sebelum masuk TK di Jakarta, sedari umur 2,5 tahun ia telah ikut TK di Paris. Di Prancis, anak-anak masuk TK sejak 2 tahun terhitung bulan September. Sekolah gratis, kecuali uang makan siang yang harus dibayar orang tua. Ada tiga kategori pembayarannya berdasarkan penghasilan orang tua. Saya, penerima beasiswa dari pemerintah Prancis, termasuk klasifikasi pembayar terendah.

Sekolah itu mulai pukul 8 pagi sampai 16 sore dan siangnya mereka bersama-sama makan di kantin sekolah. Sekolah TK itu merupakan tanggung jawab bersama Kotapraja dan Departemen Pendidikan. Guru-gurunya digaji departemen pendidikan. Sedangkan gedung sekolah beserta perlengkapannya dibiayai dan dikelola pemerintah kota. Setiap terjadi pertambahan murid usia TK di wilayah tersebut, kotapraja bertanggung jawab menyediakan sekolah/kelas baru. Dapat dibayangkan betapa sulitnya mengatur anak usia 2 tahun.

Selama seminggu orang tua diperbolehkan menemani di luar kelas. Tetapi setelah itu semuanya tanggung jawab ibu guru. Guru itu dibantu seorang pembantu yang siap mengurus bila anak itu harus ke kamar kecil. Seminggu pertama memang di sekolah itu ramai dan riuh rendah. Tangisan anak-anak bercampur dengan teriakan guru serta ketawa murid-murid yang suka mengganggu temannya.

Tetapi setelah itu semuanya berjalan lancar. Sebelum masuk kelas, murid harus menggantung mantelnya di dinding kelas sebelah luar. Jumlah gantungan sebanyak jumlah murid, ditempel foto dan tertulis nama murid. Jadi yang pertama diajarkan adalah keteraturan, bukan kerukunan/harmoni. Setiap murid harus menggantung mantelnya pada gantungannya sendiri.

Setelah beberapa bulan foto itu dicabut guru, berarti si murid berkat kebiasaannya sudah mengenal namanya sendiri dalam bentuk tulisan. Ia juga ketika pulang sekolah mengambil mantelnya sendiri, bukan mantel orang lain. Di sini yang dididik adalah kepemilikan. Si anak tidak boleh mengambil milik orang lain, tapi juga ia berhak agar miliknya tidak diambil orang lain. Dengan kata lain sedari dini anak-anak sudah dididik mematuhi hukum.

Apa yang diajarkan? Mereka belajar menyanyi, mendengarkan cerita/dongeng edukatif dari sang guru dan mengerjakan prakarya yang mereka sukai. Kelas itu memang mirip studio seniman. Di situ ada bangku-bangku disusun secara kelompok. Ada meja dan bangku untuk melukis, mendengarkan musik lewat walkman, melihat-lihat buku cerita bergambar, bermain lego, monopoli, dll. Setelah makan siang dalam kantin sekolah, acara dongeng oleh ibu guru. Setelah itu kasur-kasur busa diturunkan ke lantai, lampu dimatikan, anak-anak itu tidur siang selama 1,5 jam.

Ketika berbicara dengan guru kelas itu saya sangat kagum pada kesederhanaan konsep pendidikan TK yang dijalankannya. “Di sini saya tidak mengajar pelajaran. Saya hanya bertugas mengarahkan agar anak-anak melakukan pekerjaannya sampai selesai, tuntas. Murid yang suka melukis boleh menggambar, kertas, kuas dan cat sudah tersedia. Tetapi mereka harus menyelesaikan gambar itu sampai selesai.” Lukisan itu tidak diberi nilai. Guru tidak mengajar murid agar bisa menggambar bagus tetapi yang penting gambar itu selesai. Sebelum rampung ia tidak boleh mengerjakan pekerjaan lain, misalnya mendengarkan radio atau musik (lewat walkman). Ini sangat berguna bagi kehidupannya kelak. Ia telah dididik untuk menekuni satu bidang, sampai selesai dan tuntas.

Betapa sederhana konsep itu dan efektif seumur hidup. Berarti sedari kecil anak-anak sudah diarahkan menekuni sebuah pekerjaan (lalu kemudian itu berubah jadi profesi). Betapa hebatnya, pendidikan profesionalisme sudah ditanamkan sejak TK. Praktek semacam ini yang diterapkan sejak awal jelas sejalan dengan konsep link and match yang baru dimulai diupayakan di tanah air kita.

Betapa kaget saya ketika di Indonesia anak-anak dididik untuk hidup rukun tidak boleh bertengkar, agar senantiasa mengalah. (Konsep agar selalu mengalah ini jelas tidak cocok menghadapi era persaingan global dewasa ini). Tidak ada peraturan yang jelas, misalnya tadi dalam letak tas sang murid, semuanya tergantung kebaikan ibu guru.

Beberapa hari kemudian murid-murid TK nol kecil itu ditanya siapa Presiden Indonesia? Lalu Ibu Guru menjelaskan namanya. Untuk apa anak usia 4 tahun tahu Presidennya? Bila menonton televisi ia toh akan tahu dengan sendirinya, karena hampir tiap hari ada pemberitaannya. Selain itu anak-anak 4 tahun disuruh menghapal kelima sila Pancasila. Hapalan ini apakah perlu bagi anak seumur itu? Saya masih sangsi. Pancasila boleh saja diajarkan tetapi untuk anak usia 4 tahun tak perlu berbentuk hapalan.

Sekarang anak saya sudah SD. Banyak hapalan, ia terbiasa belajar dengan memakai sistem multiple choice. Buku-buku seperti Arif, Kunti, RTB membantu system ini. Ada satu pertanyaan, dan sudah tersedia 3-4 jawaban. Tinggal pilih salah satu dan lingkari. Anak-anak tidak dididik menjawab kreatif. Hanya satu jawaban benar, carilah itu.

Dan ketika kenaikan kelas, orang tua mengambil rapor ke sekolah. Rapor dibagikan di kelas oleh guru. Ketika menerima rapor, amplop berisi uang pun diselipkan ke tangan guru. Sekadar tanda terima kasih kepada pahlawan tanpa tanda jasa itu, yang gajinya hampir sama dengan upah buruk di pabrik.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar