Kamis, 29 Agustus 2013

Breastfeeding & Weaning with Syariah: ASI Sempurna 2 Tahun Itu Mengurangi Kerepotan!

Breastfeeding & Weaning with Syariah: ASI Sempurna 2 Tahun Itu Mengurangi Kerepotan!

July 22, 2012 at 9:10pm
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School
Instruktur Pelatihan Orangtua Shalih di 22 propinsi dan 70 kota di Indonesia
Ayah dari 4 orang anak.
www.auladi.net | inspirasipspa@yahoo.com

Telah banyak dibahas oleh berbagai pihak tentang bagaimana keutaamaan memberikan ASI (breastfeeding) dan juga cara menyapih anak (weaning). Entah bingung cari referensi atau memang karena belum yakin, pertanyaan tentang menyapih masih saja banyak diajukan kepada saya oleh beberapa orangtua seperti misalnya: dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah 2:233 menyebutkan ASI yang sempurna itu adalah 2 tahun, apakah menyapih itu harus 2 tahun pas atau boleh lebih? Lalu sampai berapa batasannya? 3, 4 atau 5 tahun masih kah boleh? Atau berapa tahun?

Ini bagian pertama dari tulisan saya tentang “breastfeeing dan weaning”. Kali ini saya ingin membahas pula makna lain tentang ASI ini seperti yang disebutkan dalam Al-Quran pada surat yang pernah disebutkan tadi. Mari kita simak lagi Al-Baqarah 2:233 tadi:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233).

Jelas, dalam ayat tersebut Allah memerintahkan untuk menyempurnakan ASI yang sempurna itu setidaknya sampai usia 2 tahun. Kaidah syara menyebutkan asal segal perintah itu wajib, jadi jika tidak ada halangan syar’i, menyusui anak sampai usia 2 tahun adalah keutamaan yang seharusnya diusahakan sekuat tenaga oleh para orangtua.  Barulah ketika ada halangan yang dibenarkan, boleh dihentikkan di tengah jalan meski belum genap sampai usia 2 tahun asal dengan jalan musyawarah suami-istri.

Sebenarnya ada ayat lain yang bicara soal ASI dan penyapihan ini yaitu: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (Al-Ahqaf: 15).

Lho kok 30 bulan sudah termasuk mengandung berarti ASI nya tidak sampai usia 2 tahun? Berarti bertentangan dengan Al-Baqarah 2: 233 dong? Maksud ayat ini tidak demikian tentunya. Karena seperti kita tahu bahwasanya masa kehamilan yang paling sedikit adalah enam bulan dan bahwa mungkin saja dalam tempo secepat itu terlahir seorang bayi. Jadi ayat lain ingin mengantisipasi jika ada kelahiran dini (prematur) maka tetap saja ASI nya dihitung 2 tahun (24 bulan sisa dari dikurang 6 bulan).

Memberikan ASI sampai setidaknya usia 2 tahun itu memberikan banyak sekali kemanfaatan dan hampir tidak ada madharatnya sama sekali. Saya hanya bisa sebutkan beberapa diantaranya.

MENGURANGI BIAYA!

Pentingnya pemberian ASI telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 1990-an. Jauh sebelum WHO mengajurkan tentang pentingya ASI belasan abad lalu melalui Rasulullah Saw telah disampaikan tentang pentingnya ASI bahkan sampai detail diinformasikan oleh Allah yang sempurna itu sampai usia 2 tahun.

Allah memerintahkan penyempurnaan sampai usia 2 tahun pastilah karena untuk kepentingan manusia itu sendiri. Dengan menyusui sampai usia 2 tahun, ada banyak kebaikan yang dapat diperoleh baik untuk bayi atau orangtua sendiri (ayah dan ibu).

Untuk bayi, sudah jelas, telah dibahas gamblang oleh banyak tulisan di tempat lain. Baik bagi kesehatan jasmaninya maupun untuk emosional anak. Komposisi ASI tida bisa digantikan oleh air susu binatang manapun. Jika susu binatang saja, yang bahasa halusnya “susu formula” ini sering dipromosikan mengandung banyak kandungan gizi yang bermanfaat seperti AHA, DHA dll, maka apatah lagi susu manusia, bisa mengandung unsur A sampai Z. Dari segi emosional? ASI tak tergantikan. Tidak ada yang mengalahkan kelengketan (bonding) orangtua anak selain ketika memberikan ASI. Satu-satunya yang bisa mengalahkan hubungan itu ketika anak masih berada di dalam Rahim ibu.

Untuk orangtua? Sedikit saja yang bisa saya sebutkan: secara ekonomi para orangtua tidak perlu mengeluarkan dana untuk membeli susu formula. Berapa botol yang harus dihabiskan selama sebulan? Selama setahun? Selama dua tahun? Jika susu formula yang standar, yang tidak mahal-mahal amat, yang tidak dibintangi oleh anak bule (seolah-olah susu sapi yang diminum anak bule itu lebih baik, padahal sama-sama susu binatang) harganya 1 kg seharga 50 ribu rupiah. Dan jika sehari minum susu 3-4x maka bisa dalam sepekan habis. Kali sebulan berarti sekitar 200 ribu. Kali setahun berarti 2,4 juta. Kali dua tahun berarti 4,8 juta.

Anda yang sudah punya gaji tetap insya Allah bisa memaksakan diri beli. Tapi bagaimana dengan orangtua yang tidak punya penghasilan tetap setiap bulan?  Masih mending jika tidak tetapnya, kadang besar atau kadang kecil. Bagaimana jika tidak tetapnya karena kadang ada penghasilan kadang tidak seperti buruh bangunan, buruh pabrik, ojek, tukang becak dan lain-lain.

Dengan menggunakan ASI, orangtua tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun untuk memberikan asupan gizi berkualitas untuk anak. Cukup di keluarkan dari baju, lalu masukkan! Praktis. Kapanpun anak lapar, kapanpun Anda mau.

MENGURANGI KEREPOTAN!

Apa yang harus Anda lakukan saat membeli susu formula selain harus mempunyai uang dan membelinya dahulu di toko?

Pertama-tama Anda harus punya air hangat. Tahap kedua menyimpan air hangat di gelas. Tahap ketiga menyimpan susu formula di gelas. Tahap ketiga mengaduknya. Tahap keempat memasukkan ke dalam botol susu. Barulah tahap kelima memberikannya pada bayi. Bayangkan, untuk urusan sepele ini, “birokrasinya” kok harus melewati 5 tahap begitu, mirip ngurus izin SIUP, TDP dan izin-izin usaha. Mencuci gelas/botol susunya tak masuk hitungan lho.

Pakai ASI itu seperti pakai jalur cepat imigrasi. Tidak perlu mengaduk-aduk dengannya dengan air hangat. Tak perlu perlu mencuci botol dot setelahnya. Tak perlu bangun malam berlama-lama untuk membuat susu formula saat anak lapar. Tinggal keluarkan dari baju, dan masukkan saja ke mulut anak. Bisa dilakukan sambil duduk. Bisa dilakukan sambil tiduran. Bisa dilakukan di rumah, bisa dilakukan di dalam kendaraan, bisa dilakukan di mall, di Bandara. Tak usah bekal air hangat untuk ngaduk susu formula. ASI itu praktis dan ready to use! Fast food paling praktis di dunia.

Itu hal yang sepele dan paling mudah kita cerna. Tapi sungguh kebaikan memberikan ASI terutama jika ASI nya sampai usia 2 tahun bisa jadi jauh lebih besar dari yang dibayangkan sebagian orang umumnya. Allah memang Maha Sempurna dan telah menciptakan kreasi penciptaan yang sempurna pula.  Kebaikan ASI 2 tahun juga sangat bermanfaat untuk kualitas pengasuhan itu sendiri dan bukan hanya dari segi gizi semata.

Ayat 2:233 ini ternyata juga memberikan makna tersirat lain untuk kita. Yaitu tentang pentingnya JARAK KELAHIRAN!

Bagi yang ingin menyempurnakan susuan adalah 2 tahun. Di bawah 2 tahun boleh berhenti tapi tetap saja yang sempurna adalah 2 tahun.  Artinya setelah 2 tahun sempurna memberikan ASI, maka yang sempurna pula orangtua hamil lagi setelah anak tadi berusia minimum 2 tahun.

Boleh saja hamil lagi dan tidak dilarang meski anak belum berusia 2 tahun. Asumsikan saja anak pertama Anda sekarang usianya 1 tahun dan lalu Anda hamil lagi. Tapi pasti ada hak salah seorang anak yang tidak terpenuhi yaitu hak mendapatkan ASI sampai usia 2 tahun. Apakah anak pertama yang masih berusia 1 tahun akan mendapatkan ASI sampai usianya 2 tahun jika Anda hamil anak kedua pada saat tersebut? Tidak bukan?  

Jika Anda memberikan ASI pada anak pertama Anda sampai usia 2 tahun dan lalu setelah itu Anda hamil anak kedua selama 9 bulan. Maka setelah anak kedua lahir, berapa usia anak pertama? Kira-kira 24 bulan + 9 bulan: 33 bulan atau hampir 3 tahun!

Secara tersirat ini sebetulnya juga bisa jadi merupakan jarak ideal minimum kelahiran anak. Dengan jarak yang cukup, orangtua dapat memilki kesempatan, waktu dan energi yang cukup pada anak dalam rangka memberikan pengasuhan lebih berkulitas dibandingkan dengan jarak yang mepet-mepet. Tentu saja soal jarak ini hanya salah satu bagian kecil dari pendukung pengasuhan berkualitas. Tapi tetap saja ini tidak bisa diabaikan.

Sekarang saya ajak Anda membayangkan dalam situasi berikut ini. Anda adalah seorang ibu dari 2 orang anak. Anak pertama usianya 1 tahun dan anak kedua usianya 3 bulan. Dan skenariokan Anda tidak punya asisten rumah tangga. Bukankah memang tidak semua orang mampu merekrut asisten rumah tangga? Kira-kira apa rutinitas harian Anda dalam pengasuhan dua anak ini?

Bayangkan di suatu pagi (atau setiap pagi?), si ayah sudah berangkat ke kantor. Ibu tengah repot membereskan rumah, bersih-bersih dan juga menjemur cucian. Anak pertama Anda buang air besar di celana dan ia menangis keras karenanya. Anak kedua baru bangun tidur dan ia pipis di popoknya. Mau mana yang Anda prioritaskan? Bayi yang baru bangun? Si kakak terabaikan. Kakak yang setengah jam lalu sudah menahan ketidaknyamanan? si adik terabaikan.

Bagaimana di siang hari, bagaimana saat di sore hari? Kita akan disuguhkan adegan-adegan kerepotan lain bukan? Itu baru 2 anak. Apakah Anda yakin dan menjamin bahwa tidak ada salah satu hak anak yang terabaikan?

Bayangkan sekarang Anda memiliki 3 anak. Anak pertama, 3 tahun, anak kedua usianya 2 tahun dan anak ketiga 1 tahun karena metode melahirkan TUNJI kata orang Sunda, alias SATAUN HIJI (setahun satu). Anak pertama, menangis minta dibelikan es krim “pokoknya sekalang!!! Sekalang juga!!!” padahal itu tukang es krim sudah kelewat sejam lalu dan dia “bersabar berikhtiar” menangis sejam demi menuntut orangtua agar mengantarkannya ke minimarket cari es krim!

Eit, belum selesai. Anak kedua yang berusia 2 tahun “demo” sama bunda minta dicarikan mobil-mobilannya yang entah sembunyi di mana itu mainan. Ia terus berkali-kali ngomong “bunda, caliii… bunda caliiii bunda caliiii….”

Eit, belum selesai. Anak ketiga yang berusia 1 tahun ngantuk! Pengen bobo dia! Bergelayut-gelayut menarik kaki Bunda minta diayun.  Apa yang Anda rasakan? Apakah Anda yakin dan menjamin bahwa tidak ada salah satu hak anak yang terabaikan?

Bagaimana kalau 5 orang anak? Bayangkanlah, bayangkanlah, bayangkanlah sekuat tenaga Anda punya 5 orang anak.  Anak pertama berusia 7 tahun, anak kedua dan seterusnya berusia 6 tahun, 4 tahun, 2 tahun dan 6 bulan.

Bayangkan si anak pertama dan kedua berantem, saling smackdown! Rebutan pistol-pistolan. Bayangkan pula anak ketiga kecebur di kamar mandi, bayangkan pula anak keempat buang air di celana dan akhirnya anak ke lima yang berusia 6 bulan lapar, minta ASI.

Apa yang kira-kira Anda rasakan? Mana yang akan Anda tangani lebih dulu? Beruntung jika Anda punya asisten rumah tangga. Bagaimana jika tidak? Apakah Anda yakin dan menjamin bahwa tidak ada salah satu atau beberapa hak anak yang terabaikan?

Jika manajemen rumah tangga dan teknik pengasuhan buruk, ini akan membuat seorang ibu stres (dalam bahasa Quran 2:233 menderita) dan juga seorang ayah stress (menderita). Jika orangtua stres hampir setiap hari menangani anak, bagaimana kira-kira perlakuan yang akan diterima anak? Apakah anak-anak yang diamanahkan kepadanya akan menjadi generasi berkualitas?

Ketika kita tidak yakin kita dapat memberikan pengasuhan berkualitas maka bagaimana mungkin kita yakin kita dapat menghasilan generasi berkualitas? Memang, di kalangan sebagian orang ini, “sunnah” punya banyak anaknya yang baru dijalankan tapi “sunnah” yang lain yakni menghasilkan dan meninggalkan generasi yang kuat, generasi yang bukan generasi lemah apakah juga sudah dijalankan? Wallahua’lam bishawwab . Apakah banyak anak ini anak yang berkualitas atau anak yang tak berkualitas?

Sekali lagi soal jarak ini hanya satu bagian kecil, tetapi tetap saja tidak bisa diabaikan. Andaikan sama-sama memiliki skil pengasuhan yang baik, sehebat apapun skil Anda dalam pengasuhan, tetap saja berbeda antara yang mepet-mepet jarak kelahiran dengan yang cukup memiliki jarak kelahiran.

Memiliki banyak anak dengan jarak mepet-mepet (kurang dari 2 tahun) dengan yang jaraknya cukup (sekitar 3 tahun atau lebih) dari segi kualitas pengasuhan tentulah akan berbeda. Terserah Anda, tetapi menghasilkan generasi berkualitas tetaplah harus menjadi target utama, bukan sekadar hamil atau menghamili istri sudah itu pendidikannya “dioutsourcingkan” sepenuhnya pada sekolah, ngaji atau belajar agamanya “dioutsourcingkan” pada ustadz dan ustadzah, bahkan ngasih makan dan mandiinnya “dioutsourcingkan” sama asisten rumah tangga.

Bagaimana dengan anak kembar? Bukankah itu secara alamiah akan lebih repot? Tentu saja. Tetapi melahirkan anak kembar dengan melahirkan banyak anak dengan cara mepet-mepet suasana psikologisnya berbeda. Anak kembar, sekali repot dua tiga pulau terlampaui. Bahkan istri saya sering berkelakar, “Andaikan umi bisa menghasilkan 5 anak sekaligus sekali capek tapi langsung banyak!’ Ketika memiliki anak kembar, orang-orang di sekitar Anda tentu akan lebih memahami keadaan ini dan dengan sukarela akan mendekati Anda untuk memberikan bantuan.  Belum tentu jika Anda punya anak banyak tapi tidak kembar alias karena kelahiran mepet-mepet.

Bolehkah Mengatur Jarak Kelahiran?

Bolehkah mengatur jarak kelahiran secara syariat? Tanggapan terhadap ini adalah persis seperti tanggapan atas pertanyaan bolehkah KB (Keluarga Berencana) menurut syariat?  Karena saya bukan ulama, maka saya akan kutipkan pendapat sebagian ulama mengenai hal ini.

Kebanyakan ulama membolehkan KB dalam artian dalam artian berencana mengatur jarak kelahiran, tetapi jika KB didefinisikan sebagai berencana membatasi kelahiran, jumhur ulama mengharamkannya.

Misalnya saya kutip dari Fatawa Mar'ah, dikumpulkan oleh Muhammad Al-Musnad, Darul Wathan, cetakan pertama 1412H oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz KB diperbolehkan dengan syarat:

“[a] Sang istri tertimpa penyakit di dalam rahimnya, atau anggota badan yang lain, sehingga berbahaya jika hamil, maka tidak mengapa (menggunakan pil-pil tersebut) untuk keperluan ini.

[b]. Demikian juga, jika sudah memiliki anak banyak, sedangkan isteri keberatan jika hamil lagi, maka tidak terlarang mengkonsumsi pil-pil tersebut dalam waktu tertentu, seperti setahun atau dua tahun dalam masa menyusui, sehingga ia merasa ringan untuk kembali hamil, sehingga ia bisa mendidik dengan selayaknya.

Adapun jika penggunaannya dengan maksud berkonsentrasi dalam berkarier atau supaya hidup senang atau hal-hal lain yang serupa dengan itu, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita zaman sekarang, maka hal itu tidak boleh.”

Pendapat senada diungkapkan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah Tidak boleh menggunakan obat pencegah kehamilan kecuali dalam keadaan darurat, apabila memang pihak medis/dokter menyatakan kehamilan berisiko pada kematian ibu.

Namun menggunakan obat pencegah kehamilan dengan tujuan menunda sementara kehamilan yang berikutnya, tidaklah terlarang bila memang si ibu membutuhkannya. Misalnya karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk hamil dalam interval waktu yang berdekatan, atau bila si ibu hamil lagi akan memudaratkan anak/bayinya yang masih menyusu.

Dengan ketentuan, obat tersebut tidak memutus/menghentikan kehamilan sama sekali, tapi hanya sekedar menundanya. Bila memang demikian tidaklah terlarang sesuai dengan kebutuhan yang ada, dan tentunya setelah mendapat saran dari dokter spesialis kandungan.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/175)(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 37/1429H/2008, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 89.)

Jadi yang jelas-jelas sangat dilarang adalah membatasi kelahiran dan bukan mengatur jarak kelahiran. Toh Rasulullah pun pernah mendapatkan kabar tentang azl (coitus interuptus) dan itu dimubahkan.

Jadi silahkan punya anak banyak, tapi tambahkan, banyak tapi berkualitas, bukan sekadar asal banyak. Sudah terang dalam berbagai hadits Rasulullah saw sangat menyukai ummatnya yang memiliki keturunan banyak. Tetapi apakah Rasulullah suka jika ummatnya ini ummat yang lemah, ummat yang menjadi beban buat banyak orang, ummat yang tidak berkualitas?

Jangan salah kaprah, bukan berarti yang punya anak mepet itu berarti pasti tidak akan menjalankan pengasuhan berkualitas. Bukan begitu maksud saya. Mereka  yang punya anak banyak dan mepet juga masih punya peluang untuk menjalankan pengasuhan berkualitas dan menghasilkan generasi berkualitas karena faktor-faktor kualitas pengasuhan tidak semata hanya mengandalkan jarak kelahiran. Ada banyak faktor lainnya yang lebih besar. Tetapi dalam tulisan ini saya hanya ingin mengungkapkan dan fokus pembahasan yang ideal pada salah satu faktor kecil: jarak kelahiran.

Seperti yang sudah saya tulis di salah satu bagian tulisan ini, jika manajemen rumah tangganya baik dan dibekali skil pengasuhan yang baik insya Allah juga masih punya peluang untuk menghasilkan generasi kualitas. Anda yang sudah terlanjur punya anak banyak dan kebetulan mepet-mepet, jangan khawatir insya Allah akan saya bahas dalam tulisan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar